Ketahui Gan, Syarat-syarat Terjadinya Sebuah Perang

Selama beribu-ribu tahun, perang dianggap sebagai suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, memuakkan namun kenyataannya tidak dapat terhindarkan. Salah satu pertanyaan yang terus-menerus diajukan ialah: dapatkah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Adakah situasi-situasi atau kondisi-kondisi di mana membunuh dapat dianggap sebagai suatu tuntutan moral? Bila membunuh dapat dibenarkan, apakah batasan-batasan moral yang harus diberikan – apabila memang ada? Doktrin tentang Perang yang Sah pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk membenarkah peperangan, atau suatu tindakan perang.



Doktrin tentang perang yang sah, atau perang yang adil (just war), adalah upaya untuk membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisir. Tentunya hal ini perlu kita ketahui agar kita mengetahui mengenai penggunaan kekuatan dalam dua bagian: kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya (jus ad bellum) dan cara-cara apa yang harus dilakukan dalam menggunakan angkatan bersenjata itu (jus in bello).

-Kedamaian dalam menghadapi suatu kesalahan yang berat dan serius, hanya dapat dihentikan melalui kekerasan-


Kapan Suatu Perang Dianggap Sah:


Dalam perang modern, agar suatu perang dapat dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria berikut ini sebelum penggunaan kekerasan dapat dilaksanakan (Jus ad bellum):



Alasan yang Sah: Kekerasan hanya boleh digunakan untuk memperbaiki suatu kejahatan publik yang parah (mis. pelanggaran hak-hak asasi seluruh populasi dalam skala yang parah) atau sebagai upaya pembelaan diri; 

Perbandingan Keadilan: Sementara semua pihak yang terlibat konflik mungkin mempunyai sisi-sisi yang benar dan salah, penggunaan kekerasan dapat dibenarkan dengan ketidakadilan yang diderita oleh salah satu pihak haruslah jauh melebihi penderitaan yang dialami oleh pihak yang lainnya; 

Kekuasaan yang Sah: Hanya penguasa yang diakui sah oleh masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan yang mematikan atau menyatakan perang (dalam hal ini di Indonesia, hanya Presiden yang boleh menyatakan perang dengan persetujuan DPR);

Niat yang Benar: Kekerasan hanya boleh digunakan dalam suatu alasan yang benar-benar sah dan semata-mata untuk maksud itu saja; Memperbaiki kesalahan yang diderita oleh suatu pihak dianggap sebagai niat yang benar, sementara keuntungan materi tidak.

Probabilitas Keberhasilan: Senjata tidak boleh digunakan dalam usaha yang sia-sia atau dalam kasus di mana langkah-langkah yang tidak proporsional dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan;

Proporsionalitas: Kerusakan keseluruhan yang diperkirakan akan ditimbulkan dari penggunaan kekerasan haruslah dikalahkan oleh kebaikan yang akan dicapai.

Upaya Terakhir: Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas.

Perhatikan bahwa semua ini hanyalah kondisi-kondisi yang paling umum dikutip oleh para teoretikus Perang yang Sah.


Melaksanakan Suatu Perang Yang Sah:

Sekali peperangan telah dimulai, Doktrin tentang Perang yang Sah juga mengarahkan bagaimana para kombatan (tentara atau prajurit) harus bertindak: (Jus in bello)

Perilaku dalam Perang yang Sah harus diatur oleh prinsip-prinsip pemilahan (diskriminatif). Tindakan-tindakan perang harus diarahkan kepada pelaku tindakan yang salah, dan bukan kepada warga sipil yang terjebak dalam keadaan-keadaan yang tidak mereka ciptakan. Tindakan-tindakan yang dilarang termasuk pengeboman terhadap daerah hunian warga sipil yang tidak mencakup target militer dan melakukan tindakan-tindakan terorisme atau pembalasan terhadap warga sipil biasa. Sebagian orang percaya bahwa aturan ini melarang senjata pemusnah massal dari jenis apapun, dengan alasan apapun seperti misalnya penggunaan bom atom.



Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus dipimpin oleh prinsip proporsionalitas. Kekuatan yang digunakan haruslah proporsional dengan kesalahan yang dialami, dan demi kebaikan yang diharapkan akan dihasilkan. Semakin tidak proporsional jumlah kematian warga sipil sebagai korban sampingan, semakin harus dicurigai ketulusan dari klaim suatu negara yang berperang tentang keadilan dari perang yang dimulainya.



Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus diatur oleh prinsip kekuatan yang minimum. Suatu tingkat kekuatan tertentu tidak boleh digunakan apabila tingkat kekuatan yang lebih sedikit sudah cukup untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama. Prinsip ini dimaksudkan untuk membatasi kematian dan kehancuran yang berlebih-lebihan dan tidak perlu. Ini berbeda dengan proporsionalitas karena jumlah kekuatan yang proporsional dengan tujuan misinya tidak boleh melampaui kekuatan yang dibutuhkan untuk mencapai misi tersebut.



Siksaan Penyiksaan, terhadap para kombatan (prajurit atau tentara yang ikut bertempur) atau non-kombatan (warga sipil), dilarang.Tawanan perang harus diperlakukan dengan penuh hormat.



Sepanjang sejarah banyak orang yang telah menganggap bahwa wajib militer paksa sebagai suatu cara yang tidak adil, misalnya Memaksa orang untuk menyerahkan hidupnya, atau menimbulkan kematian dalam cara yang berlawanan dengan kehendak mereka, atau tanpa keyakinan tentang kebenaran tindakan mereka, adalah suatu tindakan yang merendahkan harkat kemanusiaan.



Mengakhiri suatu Perang:

Berkaitan dengan pengaturan tentang proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju perdamaian (Jus post bellum), aturan-aturan berikut:

Alasan yang sah untuk mengakhiri – Sebuah negara dapat mengakhiri suatu peperangan apabila pembalasan terhadap hak-hak yang pertama-tama dilanggar itu sudah selesai, dan bila si agresor bersedia merundingkan syarat-syarat penyerahan. Syarat-syarat penyerahan itu mencakup permintaan maaf yang resmi, pembayaran ganti rugi, pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang, dan barangkali juga rehabilitasi.



Niat yang benar – Suatu negara hanya boleh mengakhiri suatu peperangan di bawah kondisi-kondisi yang telah disepakati berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Pembalasan tidak diizinkan. Negara yang menang juga harus bersedia memberlakukan objektivitas dan investigasi pada tingkat yang sama terhadap kejahatan-kejahatan perang apapun yang mungkin telah dilakukan oleh pasukan-pasukannya



Pernyataan umum dan kekuasaan – Syarat-syarat perdamaian harus dibuat oleh kekuasaan yang sah, dan syarat-syarat itu harus diterima oleh kekuasaan yang sah.



Diskriminasi – Negara yang menang harus melakukan pembedaan antara para pemimpin politik dan militer, dan antara kombatan dan warga sipil. Langkah-langkah penghukuman harus dibatasi hanya kepada mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas konflik itu.



Proporsionalitas – Syarat-syarat apapun untuk penyerahan diri haruslah proporsional dengan hak-hak yang pertama-tama dilanggar. Syarat-syarat yang kejam, tindakan-tindakan absolusionis, dan upaya apapun yang menyangkal hak-hak dari negara yang telah menyerah untuk ikut serta dalam komunitas dunia tidak diizinkan.

Sementara mereka yang terlibat dalam perang secara moral bertanggung jawab untuk membedakan antara tentara lawan dan warga sipil yang tidak berperang, ada kalanya pembedaan itu tidak mugkin dilakukan. Taktik-taktik seperti “tembakan untuk memastikan”, ketika pasukan menembak tentara musuh yang telah jatuh – untuk mencegah kejadian apapun yang mungkin dapat mengacaukan keamanan mereka, melanggar aturan-aturan perang. Sementara tentara, ketika menemui prajurit lawan yang terluka, diperintahkan untuk melucuti prajurit itu, memeriksa status medisnya dan meminta bantuan medis, ada kalanya hal-hal seperti itu justru menempatkan tentara-tentara itu dalam keadaan yang sangat berbahaya. Ada pula ancaman bahaya bahwa tentara musuh itu menyerang pasukan-pasukan tersebut, misalnya menembak mereka dari belakang.



Dalam peperangan modern, proporsionalitas, seperti yang digambarkan dalam jus in bello bisa sulit dicapai, karena adanya kecenderungan untuk menempatkan target-target militer di wilayah sipil. Karena itu, ada kalanya korban di pihak sipil terjadi. Kriteria proporsionalitas menggunakan konsep “dampak ganda” – artinya, orang dapat melakukan operasi-operasi militer yang ditujukan kepada sasaran-sasaran atau target-target obyektif, meskipun operasi itu dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif, seperti misalnya korban di pihak sipil.

Segitu saja yang bisa saya bagikan pada siang hari yang panas ini. Terima kasih sudah membaca dan semoga bermanfaat serta menambah wawasan  Jangan  tapi saya tidak menolak.

ID Kaskus : mr.sirait

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketahui Gan, Syarat-syarat Terjadinya Sebuah Perang"

Post a Comment